| Ditulis oleh Dr. Agus Aris Munandar | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| Ketika  para arkeolog Belanda mulai melakukan penelitian di wilayah Indonesia  di awal abad ke-20, pada waktu itu kajian terhadap sumber tertulis yang  berupa karya sastra dan prasasti pun masih dalam tahap awal kegiatannya.  Hal yang menarik adalah bahwa perhatian terhadap peninggalan kuna yang  bersifat artefaktual agaknya lebih dahulu diberikan oleh para  cendekiawan Belanda daripada perhatian mereka terhadap sumber-sumber  tertulis. Sangat mungkin hal itu dikarenakan peninggalan yang berwujud  artefaktual lebih nyata terlihat ada di permukaan tanah di lokasi  tertentu. Dalam pada itu prasasti yang berupa sumber tertulis harus  dipelajari terlebih dahulu tulisannya, kemudian baru kandungan isinya,  apalagi sumber tertulis yang berupa naskah, data seperti itu sudah  dipastikan tidak berada di sembarang tempat melainkan disimpan oleh  koleksi perorangan, lembaga, atau tersimpan rapi di scriptorium  tradisional. Data  yang terungkap dalam sumber tertulis sudah tentu beraneka bentuknya,  berkenaan dengan berbagai aspek kebudayaan manusia. Dapat dikemukakan  bahwa sumber tertulis menyimpan data tentang kehidupan sosial-  kemasyarakatan, keputusan hukum, sistem politik pemerintahan, kesenian,  pengetahuan tradisional, dan lain-lain. Data yang terungkap lewat kajian  sumber tertulis sebenarnya tidak secara langsung berkenaan dengan  kajian arkeologi di Indonesia.  Sebagaimana  diketahui bahwa dalam wilayah kajian arkeologi terdapat dua periode  utama yang membagi perhatian para arkeolog dalam melakukan  penelisikannya. Dua periode itu adalah (a) masa prasejarah, dan (b) masa  sejarah. Kedua periode itu lalu melahirkan dua fokus ilmu arkeologi  yang sedikit berbeda dalam melakukan analisis dan interpretasi terhadap  datanya, yaitu arkeologi prasejarah dan arkeologi-sejarah. Apabila  arkeologi yang meneliti periode prasejarah menyandarkan sepenuhnya pada  data yang berupa artefak, maka arkeologi-sejarah selain mempelajari  peninggalan masa lalu yang berupa artefak juga harus dilengkapi dengan  dukungan data dari sumber-sumber tertulis. Maka dalam melakukan analisis  dan penarikan kesimpulannya pun ditopang oleh data dari sumber-sumber  tertulis. Arkeologi-sejarah bukan kajian sejarah itu sendiri, karena  tetap dalam tlatah arkeologi yang membahas benda-benda peninggalan masa  lalu yang dihasilkan oleh masyarakat yang telah mengenal tulisan. IISebagaimana  telah dikemukakan bahwa kajian sumber tertulis yang dapat dipergunakan  untuk memecahkan masalah-masalah arkeologi sejarah sebenarnya meliputi  bermacam data yang bersifat tulisan, misalnya prasasti, karya-karya  sastra (termasuk juga yang susastra), dokumen, laporan perjalanan, arsip  dan lain sebagainya. Namun yang akan menjadi pembicaraan selanjutnya  adalah sumber tertulis yang berupa karya-karya sastra, khususnya yang  menggunakan bahasa Jawa Kuna dalam membantu mengungkap permasalahan arkeologi Hindu-Buddha di Indonesia.  Salah  satu hal yang dapat diungkapkan lewat data karya sastra Jawa Kuna  adalah perihal candi-candi pendharmaan para raja yang pernah berkuasa  dalam masa Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit (abad ke-14—15 M).  Walaupun beberapa bangunan yang disebutkan dalam karya sastra telah  berhasil diidentifikasikan dengan suatu candi yang masih ada sekarang,  namun banyak nama bangunan suci lainnya yang masih belum dapat diketahui  keberadaannya. Candi  pendharmaan adalah suatu istilah dalam arkeologi Hindu-Buddha Indonesia  untuk menyebutkan suatu bangunan suci --umumnya candi-- yang didirikan  untuk memuliakan seorang tokoh yang telah meninggal. Kata dharma berasal  dari bahasa Sansekerta  yang artinya cukup luas, seperti hukum, aturan hidup dan tingkah laku  yang ditentukan oleh agama dan adat, keadilan, kabajikan, ajaran agama,  kebenaran, kewajiban, kesucian, dan lain-lain. Salah satu pengertian kata dharma dalam bahasa Jawa kuna adalah lembaga keagamaan, candi, biara, pertapaan, dan bangunan suci lainnya (Zoetmulder 1995, I: 197—8). Dalam  beberapa karya sastra Jawa Kuna seperti Wirataparwa, Nagarakrtagama dan  Siwaratrikalpa begitupun dalam karya sastra lainnya seperti Pararaton  dan Kidung Harsyawijaya banyak disebutkan kata dharma atau dhinarma yang  artinya membangun candi untuk tokoh tertentu. Dengan demikian kata  pendharmaan adalah bentukan kata dalam Bahasa Indonesia  dengan awalan pe dan akhiran an dengan kata dasar kata Jawa Kuna  dharma, maka artinya dapat menunjukkan lokasi atau tempat suatu bangunan  suci tertentu atau bangunan suci itu sendiri. Selanjutnya yang akan  ditinjau dalam bahasan  ini adalah beberapa nama pendharmaan di wilayah Jawa bagian timur yang  berhasil disesuaikan dengan berita dalam karya sastra, serta akan  diungkap pula beberapa pendharmaan bagi tokoh-tokoh penting yang masih  belum dapat diketahui keberadaannya hingga sekarang.  IIIPada  masa Klasik Muda, terutama dalam periode kerajaan Singhasari (abad  ke-13 M) dan Majapahit (abad ke-14—15 M), terdapat suatu tradisi yang  mungkin belum dikenal dalam era yang lebih tua, yaitu mendirikan candi  pendharmaan bagi tokoh yang telah meninggal. Raja-raja Mataram Kuna  (abad ke-8—10 M), hingga raja-raja dua kerajaan Janggala dan  Panjalu/Kadiri (abad ke-12 M) di Jawa Timur --menurut sumber-sumber  tertulis-- tidak disebut-sebut didharmakan di suatu candi atau lokasi  tertentu. Demikian pula belum dijumpai bukti-bukti arkeologi atau  bangunan suci yang dapat dihubungkan dengan pemujaan terhadap raja-raja  masa Klasik Tua.  Lain  halnya dengan raja-raja zaman Singhasari dan Majapahit, menurut karya  sastra terutama kakawin Nagarakrtagama dan Pararaton, setelah  kematiannya raja-raja itu didharmakan di suatu tempat. Lokasi itu  tentunya berupa bangunan suci, ada yang bernafaskan agama Buddha  Mahayana, Hindu-Saiva, atau bernafaskan pemujaan terhadap Siva-Buddha.  Pengetahuan tentang bangunan candi tertentu sebagai pendharmaan bagi  seorang tokoh adalah berkat informasi tertulis dari karya sastra.  Apabila tidak ada informasi tersebut, arkeologi tidak dapat mengungkap  lebih lanjut latar sejarah sekitar bangunan suci tertentu. Walaupun  demikian tidak seluruh bangunan suci dari masa Singhasari dan Majapahit  yang tersisa sampai sekarang dapat ditelisik lewat informasi dari karya  sastra, masih banyak candi yang hanya dapat dipelajari dari dimensi  arkeologi saja, dari sudut pandang, bentuk, ruang (tata letak), dan  kronologi, itupun kebanyakan kronologi relatif. Oleh karena itu data  dari karya sastra memegang peran penting bagi pemahaman yang lebih luas  dalam mengkaji data arkeologi, dalam hal ini candi pendharmaan. Nagarakrtagama  pupuh 40: 5 menyatakan bahwa setelah wafatnya Sri Ranggah Rajasa (Ken  Angrok) pendiri kerajaan Singhasari, ia didharmakan di dua tempat, 
 Demikianlah  berita tentang tempat pendharmaan tokoh Ken Angrok pendiri dinasti  Rajasa yang keturunannya kelak memerintah di kerajaan Singhasari dan  Majapahit. Mengenai pendharmaan tokoh yang sama disebutkan juga dalam  kitab Pararaton sebagai berikut: “ri linanira sang amurwabhumi I saka  1169. sira dhinarmeng kagenengan” (Par.15: 25). (“Sang Amurwabhumi [Ken  Angrok] mangkat pada tahun 1169 Saka/1247 M. Dia didharmakan di  Kagenengan”). Pararaton hanya menyebutkan satu lokasi pendharmaan untuk  Ken Angrok, yaitu di Kagenengan, lagi pula tahun meninggalnya disebut  1247 M, berbeda dengan tahun yang dicatat oleh Nagarakrtagama, 1227 M.  Dalam hal ini berita dari Nagarakrtagama lebih patut untuk dipercaya,  sebab kakawin itu selesai digubah oleh Mpu Prapanca dalam tahun 1365 M,  jadi tidak terlalu jauh dengan masa Ken Angrok. Adapun Pararaton baru  selesai ditulis tahun 1535 Saka/1613 M (Hardjowardojo 1965: 59), dengan  demikian ingatan penulis Pararaton terhadap peristiwa sejarah yang telah  terjadi jauh sebelumnya menjadi samar-samar, maka maklum saja jika  terjadi kekeliruan. Mengenai  Kagnangan/Kagenengan sebagai pendharmaan Ken Angrok sebagai Siwa atau  pun pendharmaan di Usana sebagai Buddha hingga sekarang ini belum dapat  diketahui keberadaannya secara pasti. Di wilayah Blitar, terdapat  bangunan candi bata yang dinamakan penduduk sekarang dengan Candi Kali  Cilik. Berdasarkan temuanj arca Agastya dapat diketahui bawa candi itu  bernafaskan agama Hindu-Saiwa. Di bagian depan batu ambang yang terletak  di atas pintu masuk terpahat angka tahun 1271 Saka/1349 M, jadi  bangunan itu berasal dari masa Majapahit. Dahulu sekitar awal abad ke-19  bangunan kuna itu disebut dengan Candi Genengan, mungkin merupakan nama  asli bangunan itu (Pangkoesmijoto 1970: 210).  Hal  yang menarik selanjutnya adalah mungkin saja Kagenengan tempat  pendharmaan Ken Angrok itu adalah candi Kali Cilik sekarang, sedangkan  angka tahun yang menunjuk masa Majapahit tersebut, bisa saja angka tahun  peringatan terhadap perbaikan atau pemugaran dari bangunan yang telah  ada sebelumnya dari masa Singhasari. Tentu saja asumsi tersebut harus  dibuktikan lebih lanjut lewat berbagai data lainnya yang lebih valid. Dalam  kakawin Nagarakrtagama juga disebutkan adanya pendharmaan beberapa raja  Singhasari setelah masa pemerintahan Ken Angrok, yaitu: 
 Bangunan suci yang dimaksudkan oleh Nagarakrtagama sebagai pendharmaan raja Anusapati sampai sekarang masih berdiri, yaitu Candi Kidal di Malang. Di bilik candi itu dahulu terdapat arca Siwa Mahadewa yang tingginya 1, 23 m. sangat mungkin merupakan arca perwujudan Anusapati yang sesuai dengan ista-dewatanya, yaitu sebagai Siwa Mahadewa. Sekarang arca Siwa dari Candi Kidal disimpan di Royal Tropical Institute, Amsterdam (Bernet Kempers 1959; 73—74, plate 216—17). Begitupun  dalam pupuh 41: 4 kakawin Nagarakrtagama disebutkan bahwa raja  Wisnuwardhana dari Singhasari mangkat dalam tahun 1190 Saka/.1268 M. Ia  kemudian didharmakan dengan wujud arca Siwa di Waleri dan dalam bentuk  arca Sugata (Buddha) di Jajaghu (“sakabda kanawawaniksithi bhatara wisnu  mulih ing Suralaya pjah, dinarmma ta sire weleri siwawimbha  len/sugatawimbha munggwing jajaghu”).  Pendharmaan  di Weleri sampai saat ini belum dapat diketahui lokasinya, tetapi  pendharmaan sebagai Buddha Amoghapasa di Jajaghu masih dapat  diidentifikasikan, yaitu Candi Jago di daerah Tumpang, Malang. Di candi  itu didapatkan arca Dhyani Bhoddhisattva Amoghapasa dengan 4  pengiringnya (Bhrkuti, Hayagriva, Sudhanakumara, dan Syamatara) yang  sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta (Bernet Kempers 1959: 85). Dalam  pemerian Pararaton disebutkan pula tentang kematian dan bangunan suci  yang didedikasikan bagi raja Anusapati, sebagai berikut,  
 Perihal pendharmaan raja Wisnuwarddhana beserta saudaranya yaitu Mahisa Campaka, Pararaton menyatakan: “Panjenengira sri Ranggawuni ratu tahun 14, moktanira 1194 dhinarma sira ring Jajagu. Sira Mahisa campaka mokta, dhinarma ring kumeper pamelesatanira ring Wudi kuncir (Par.18:10). (Sri Ranggawuni (Wisnuwarddhana) menjadi raja selama 14 tahun, meninggal tahun 1194 saka dan didharmakan di Jajagu. [Setelah] Mahisa Campaka meninggal , ia didharmakan di Kumeper, ia dimuliakan juga di Wudi Kuncir. Mengenai  keagungan suatu bangunan pendharmaan dalam masa Majapahit diuraikan  pula dalam Nagarakrtagama. Tempat pendharmaan itu dibangun untuk  memuliakan tokoh Rajapatni, nenek Hayam Wuruk. Uraiannya sebagai  berikut: 
 Bangunan yang disebut Prajnaparamitapuri pendharmaan untuk Rajapatni, sekarang masih bertahan walaupun sudah tidak utuh lagi. Pendharmaan itu tidak lain dari candi Bayalango yang sekarang terletak di wilayah Tulungagung selatan. Candi Bayalango terbuat dari bata berbentuk teras bertingkat dua, di permukaan teras teratas terdapat arca dewi yang merupakan personifikasi kitab ajaran keBuddhaan Prajnaparamita, hanya saja kepala arca itu telah terpenggal. Pada batu umpaknya terpahat angka-angka yang menunjuk tahun 1291 S (1369 M (Suleiman 1981: 45). Menilik angka tahun yang dipahatkan pada pada abu umpaknya, maka pembangunan candi Bayalango sesuai dengan berita yang tercantum dalam Nagarakrtagama. Nagarakrtagama menyatakan bahwa candi Bayalango dibangun di suatu masa dalam era pemerintahan Rajasanagara (1350—1389 M). Mungkin pembangunan itu terjadi sebelum diselesaikannya penggubahan Nagarakrtagama oleh Mpu Prapanca, tahun 1365 M. Berdasarkan  data dari karya sastra Nagarakrtagama itu pemahaman para arkeolog  tentang bangunan pendharmaan untuk memuliakan tokoh yang telah mangkat  menjadi lebih luas lagi. Dalam pada itu kitab Pararaton menyebut  sejumlah raja yang mangkat dan kemudian didharmakan di suatu tempat.  Pendharmaan itu cukup banyak, dan tidak seluruhnya dapat  diidentifikasikan hingga sekarang. Nama raja beserta pendharmaannya menurut Pararaton antara lain sebagai berikut: 
 Masih  banyak tokoh lainnya yang disebut-sebut dalam Pararaton beserta  bangunan pendharmaannya di suatu tempat. Tempat-tempat itu sekarang  tidak diketahui lagi, mungkin telah berubah nama sejalan dengan  perubahan zaman. Oleh karena itu banyak candi yang masih relatif  lengkap, setengah lengkap, atau tinggal runtuhannya saja yang tidak  dapat diketahui lagi nama aslinya. Nama-nama candi yang dikenal pada  masa sekarang kebanyakan berdasarkan pada nama desa tempat candi itu  berada, atau nama sebutan yang diberikan oleh penduduk setempat secara  arbitrer. Kajian  arkeologi Hindu-Buddha telah berhasil menelisik perihal gaya bangunan,  gaya relief, ormanen bangunan, gaya arca, dan lain-lain dari masa  Singhasari dan Majapahit. Penelitian tersebut sudah tentu berada dalam  ranah arkeologi sejarah, maka tidak lengkap kiranya jika sumber-sumber  tertulis sezaman --hasil kajian para filolog-- tidak dipergunakan untuk  melengkapi pemahaman tentang peninggalan arkeologi tersebut (Munandar  2004: 25). Berkat  hal itu kajian arkeologi Hindu-Buddha yang berkenaan dengan masa  Singhasari-Majapahit telah berhasil mengetahui beberapa bangunan candi  yang berhubungan dengan pemuliaan tokoh tertentu yang telah wafat.  Bangunan candi itulah yang lazim dinamakan candi pendharmaan. Secara  ringkas dapat dilihat dalam Tabel berikut: 
 Demikianlah hanya beberapa candi pendharmaan saja yang hingga sekarang berhasil dikenali kembali keberadaannya, dan tentu saja masih terdapat sejumlah nama bangunan lainnya yang tidak diketahuilagi lokasinya. Di beberapa daerah Jawa Timur sekarang ini terdapat pula bangunan candi yang mungkin saja dahulu merupakan pendharmaan-pendharmaan yang disebutkan baik dalam Nagarakrtagama dan atau Pararaton. Karena ketiadaan data pendukung yang dapat menghubungkan bangunan candi sekarang dengan penyebutan bangunan pendharmaan dalam Nagarakrtagama atau Pararaton, maka untuk sementara candi-candi tersebut dikaji secara fisik saja dan belum mampu dimasukkan dalam kerangka sejarah atau periode pemerintahan raja tertentu. Candi-candi  itu antara lain adalah: (1) Candi Singasari di Malang, berdasarkan  prasasti yang dikeluarkan atas perintah Gajah Mada pada tahun (1273  S/1351 M). Dapat diketahui bahwa candi itu dibangun untuk memperingati  mangkatnya raja Krtanagara yang telah memasuki alam Siwa-Buddha. Jadi  kerangka sejarahnya dapat diketahui berkat uraian prasasti saja, tidak  ada uraian dalam naskah. (2) Candi Ngrimbi di Jombang dihubungkan dengan  tokoh Tribhuwanottunggadewi berkat kajian banding yang dilakukan  terhadap arca utamanya, yaitu Parwati sakti Siwa. Berdasarkan ilmu  tentang arca (ikonografi), arca Parwati di Candi Ngrimbi penggambarannya  mirip dengan arca Hari-Hara perwujudan Krtarajasa Jayawardhana dari  Simping. Oleh karena itu para ahli lalu menafsirkan bahwa arca Parwati  itu mungkin menggambarkan seorang ratu pada masa awal Majapahit, ratu  itu tidak lain adalah Tribhuwanottunggadewi, ibunda Hayam Wuruk. Dua  candi itu masih dapat diinterpretasikan sebagai bangunan pendharmaan  berkat adanya data pendukung lain, seperti uraian prasasti yang in-situ  dan kajian ikonografis. Namun candi-candi berikut tidak dapat diketahui  apakah sebagai pendharmaan atau bukan, candi-candi itu adalah: 
 Candi-candi  tersebut mungkin saja merupakan pendharmaan bagi seorang tokoh yang  telah meninggal sebagaimana halnya candi-candi pendharmaan yang telah  disebutkan terdahulu. Beberapa ciri candi pendharmaan yang dapat diamati  adalah, (a) Ditilik dari ukurannya semua candi pendharmaan tidaklah  terlalu besar, (b) ada yang dihias dengan relief cerita tetapi ada pula  yang tanpa relief naratif, (c) mempunyai bilik/kamar karena dindingnya  terbuat dari susunan bata atau batu, tetapi ada pula yang mungkin  terbuka tanpa dinding dan hanya dinaungi atap saja, dan (d) di dalam  atau di puncak teras candi pendharmaan terdapat arca perwujudan  penggambaran tokoh yang telah meninggal sebagai dewata sesembahannya  semasa ia masih hidup dahulu (ista-devata). Berdasarkan  beberapa ciri tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa keenam  candi yang telah disebutkan itu termasuk pula ke dalam jenis candi  pendharmaan. Tentu saja untuk memperkuat asumsi tersebut perlu  argumentasi ilmiah dan data pendukung yang lebih banyak lagi, mungkin  dapat dilakukan dalam penelitian di masa mendatang. Selain candi-candi itu masih terdapat beragam kepurbakalaan yang fungsi dan  banyak aspek keagamaan lainnya juga belum diketahui secara pasti,  misalnya (1) Candi Kedaton, Hindu, Probolinggo, (2) Candi Brahu latar  belakang agamanya belum diketahui, Trowulan, Mojokerto, (3) Candi Kotes,  agama Hindu/Rsi (?), Blitar, (4) Candi Dadi, struktur bangunan yang  bagian tengahnya berlubang di puncak bukit Wajak Kidul, (5) pemandian  kuna Simbatan Wetan, Madiun, (6) pemandian kuna Watu Gede, Malang, (7)  goa Selamangleng di Tulungagung, merupakan dua ceruk besar yang dibuat  pada bukit batu, (8) goa Pasir, lebih kecil dari goa Selamangleng, juga  di Tulungagung, dan (9) puluhan punden berundak di lereng barat Gunung  Penanggungan (Pawitra). Mengenai  Candi Panataran atau Rabut Palah sangat mungkin bukan merupakan candi  pendharmaan, karena merupakan kompleks yang relatif luas. Rabut Palah  adalah candi kerajaan yang telah disucikan sejak zaman Kadiri hingga  periode akhir Majapahit, jadi masa berfungsinya  percandian itu membentang sejak temuan prasasti tahun 1197 (zaman  Kadiri) hingga tahun 1454 M, prasasti dari zaman kemunduran Majapahit  (Bernet Kempers 1959: 90). Selain disebutkan sebagai salah satu tujuan  perjalanan Hayam Wuruk pada tahun 1283 S/1361 M, sebagaimana terurai  dalam Nagarakrtagama (Nag. 61: 2), Rabut Palah hingga awal abad ke-16  masih ramai dikunjungi oleh para penziarah, demikian laporan Bujangga  Manik seorang brahmana dari Sunda. Naskah  Sunda kuna yang disusun oleh Bujangga Manik menceritakan pula tentang  Rabut Palah (Noorduyn 1982). Bujangga Manik melakukan perjalanan  keliling pulau Jawa di awal Abad ke-16. Dalam perjalanan itu ia  mengunjungi beberapa tempat suci Hindu-Buddha baik di wilayah Jawa  bagian tengah ataupun Jawa bagian timur. Bujangga Manik juga sempat  singgah di Rabut Palah dan tinggal di kompleks bangunan suci itu sekitar  satu tahun. Ia tidak hanya melakukan pemujaan di tempat itu melainkan  juga meningkatkan pengetahuannya dalam bidang kesusastraan dan  memperdalam bahasa Jawa  (Noorduyn 1982: 431). Sebelum mengunjungi Rabut Palah Bujangga Manik  terlebih dahulu mendatangi Rabut Pasajen yang merupakan bangunan suci  yang lebih “dituakan” dari Rabut Palah. Lokasi bangunan Rabut Pasajen  itu letaknya mungkin di lereng yang lebih tinggi dari lokasi Rabut Palah  pada lereng Gunung Kelud. Mengenai Candi Panataran atau Rabut Palah  yang disaksikannya pada waktu itu, ia mencatat: 
 Berdasarkan uraian ringkas dari Bujangga Manik, dapat ditafsirkan bahwa pada zaman itu para penziarah dari berbagai daerah yang datang ke Rabut Palah masih sangat banyak. Para penziarah itu agaknya melakukan ritus berjalan mengelilingi candi induknya, sebagaimana yang lazim dikenal dalam upacara pemujaan dewata Hindu/Buddha. Mereka dapat saja berkeliling dengan gerak searah jarum jam (pradaksina) atau berlawanan dengan gerak jarum jam (prasawya), Bujangga Manik tidak menjelaskannya secara rinci. Demikianlah  pemahaman tentang aktivitas keagamaan pada masa Candi Panataran dapat  lebih banyak diketahui lewat berbagai sumber tertulis yang berupa karya  sastra Jawa Kuna atau Sunda Kuna. Bahkan naskah Bali Kuna, yaitu  Dwijendra Tattwa juga menjelaskan bahwa sebelum Danghyang Nirartha  bermukim di Pulau Bali, ia juga sempat belajar di pada Danghyang  Panataran yang menjadi pendeta agung di kompleks Candi Panataran.  Uraian-uraian dari karya sastra sudah tentu berperanan dalam melakukan  tafsiran dalam kajian arkeologi. Semula para arkeolog hanya mengetahui  bahwa Candi Panataran adalah kompleks bangunan suci bagi pemujaan kepada  dewa saja, namun berkat tuturan sumber tertulis dapat pula diketahui  bahwa di lingkungan candi itu terdapat pula aktivitas pendidikan  keagamaan dan bahasa bagi mereka yang mau belajar. IVDalam  kakawin Siwaratrikalpa (Teeuw dkk. 1969) disebutkan bahwa ketika  pemburu Lubdhaka mengadakan perjalanan di hutan di daerah pegunungan ia  melalui suatu bangunan suci yang telah lama terbengkalai. Siwaratrikalpa  menyatakan: 
 Terjemahannya kurang lebih sebagai berikut: 
 Demikianlah  dari karya sastra dapat diperoleh informasi lainnya tentang bangunan  suci. Agaknya cukup banyak candi dan bangunan suci lainnya yang telah  ditinggalkan oleh para pendukungnya ketika agama Hindu-Buddha masih  berkembang di tengah masyarakat. Uraian dalam Siwaratrikalpa tersebut  sangat mungkin didasarkan pada kenyataan sebenarnya pada waktu itu, pada  saat Mpu Tanakung menggubah kakawinnya (abad ke-15 M).  Hal  yang dapat ditafsirkan adalah rusaknya bangunan suci Hindu-Buddha tidak  terjadi dalam masa-masa sesudah kedua agama itu mulai surut perannya  dalam masyarakat Jawa, melainkan justru telah terjadi pula dalam masa  yang telah lama, di era kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha  masih berdiri. Mpu Prapanca sendiri dalam Nagarakrtagamanya telah  mengeluh tentang tidak diperhatikannya percandian Kasogatan (Buddha).  Candi Buddha telah itu tidak utuh lagi, halamannya dipenuhi rumput liar,  pintu gapuranya telah runtuh, yang tersisa hanya bagian intinya yang  terbuat dari bata merah (Nag. 37: 3—5). Prapanca seakan-akan menyindir  Rajasanagara untuk memperhatikan pula nasib candi-candi Buddha di  Majapahit, karena candi-candi Hindu atau Siwa-Buddha yang diuraikan  sebelumnya masih terpelihara dengan baik. Hanya raja yang dapat  memperbaiki hal itu karena ia pelindung bagi segala kehidupan (Nag.37:  6). Bagi  kajian arkeologi Hindu-Buddha karya sastra Jawa Kuna jelas memegang  peranan penting sebagai sumber yang cukup berharga untuk memperluas  pemahaman dan mempertajam tafsiran terhadap data arkeologi yang ada.  Karya sastra itu tidak semata-mata merupakan bukti tertulis tentang  adanya ajaran keagamaan Hindu-Buddha yang melatarbelakangi dibuatnya  artefak-artefak yang berhubungan dengan kedua agama itu, melainkan dapat  dimanfaatkan lebih jauh lagi. Apabila para arkeolog berupaya untuk  memperdalam lagi kajiannya terhadap peninggalan masa Hindu-Buddha, maka  pemanfaatan data dari karya-karya sastra Jawa Kuna mutlak harus  dilakukan.  Dalam  hal nilai pentingnya data dari karya sastra Jawa Kuna bagi penelitian  arkeologi Hindu-Buddha terutama yang berkenaan dengan candi-candi  adalah: 
 Mengenai  candi pendharmaan memang baru sedikit yang dapat disesuaikan dengan  lokasi dan keberadaannya dengan candi-candi yang masih ada sekarang.  Oleh karena itu kajian yang berkenaan dengan candi pendharmaan masih  terbuka, mengingat cukup banyaknya candi pendharmaan yang disebut-sebut  dalam Nagarakrtagama dan Pararaton, serta karya sastra sezaman lainnya.  Dewasa  ini masih banyak pula bangunan candi baik yang berdiri tetapi rumpang,  candi yang sudah runtuh, atau hanya tersisa pondasinya saja yang belum  dipelajari secara lengkap, mungkin ada di antara candi-candi atau sisa  candi itu adalah suatu pendharmaan. Hal yang perlu diperhatikan pula  tidak semua candi dari masa Singhasari-Majapahit merupakan candi  pendharmaan, sebab terdapat bukti-bukti bahwa ada pula bangunan candi  yang memang hanya diperuntukkan bagi pemujaan kepada dewata langsung,  jadi candi merupakan kuil untuk memuja dewa, bukannya pendharmaan yang  dibangun untuk memuja tokoh yang telah diperdewa (Santiko 1999: 18). Di  masa mendatang tidak tertutup kemungkinan akan ada penemuan candi yang  sekarang masih terpendam tanah endapan vulkanik mengingat banyaknya  gunung berapi yang meletus di masa silam di wilayah Jawa Timur. Temuan  baru niscaya berdampak bagi perkembangan ilmu, yaitu dapat membantu  memecahkan permasalahan yang ada atau menambah permasalahan baru.  Bagaimanapun temuan baru tersebut sebenarnya akan memperkaya data  arkeologi Hindu-Buddha yang harus dipecahkan dengan bantuan data  pendukung dari sumber-sumber tertulis, antara lain karya sastra Jawa  Kuna. ------------------------- * Tulisan  ini disampaikan pada Seminar “Naskah Kuno Nusantara sebagai Warisan  Bernilai Luhur” (Memperingati Seperempat Abad Perpustakaan Nasional RI,  1980—2005). Jakarta, 11-12 Mei 2005 ** Dr. Agus Aris Munandar adalah Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Departemen Arkeologi. PUSTAKA ACUAN BERNET KEMPERS, A.J., 1959, Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Der Peet. BRANDES,  J.L.A.,1920, Pararaton (Ken Arok) of Het Boek Der Koningen van Tumapel  en van Majapahit Uitgegeven en Toegelicht. Verhandelingen van het  Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen Deel LXII.  ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, Batavia: Albrecht & Co. HARDJOWARDOJO, R.PITONO, 1965, Pararaton, Djakarta:Bhratara. MUNANDAR,  AGUS ARIS, 2004, “Karya Sastra Jawa Kuno yang Diabadikan pada Relief  Candi-candi Abad ke-13—15 M”, dalam Makara Seri Sosial Humaniora. Volume  8, Agustus , No 2. Universitas Indonesia. Halaman 54—61.  -----------------  2004, “Kajian Arkeologi dan Filologi di Indonesia: Kesejajaran dan  Keterkaitan”, dalam Sang Tohaan: Persembahan untuk Prof. Dr.Ayatrohaedi,  Beberapa Kajian Pernaskahan dari Perspektif Arkeologi. Bogor: Akademia,  Hlm.13—33. NOORDUYN,  J. 1982, “Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data  from an old Sundanese Source”, dalam BKI. Deel 138, ‘S-Gravenhage:  Martinus Nijhoff. Halaman 413—42. PANGKOESMIJOTO, R., 1970, Nusantarakala. Bogor. PIGEAUD,THEODORE  G.TH., 1960—1962, Java in The 14th Century: A Study in Cultural  History. The Nagara-Kertagama By Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D.  Volume I—V . The Hague: Martinus Nijhoff. SANTIKO, HARIANI, 1999, “Candi Masa Majapahit: Struktur Bangunan dan Fungsi”,  dalam Rahayu Hidayat (Penyunting), Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk  Edi Sedyawati. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya.  Hlm.7—20. SULEIMAN, SATYAWATI, 1981, Monumen-monumen Indonesia Purba. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. TEEUW,  A. Dkk., 1969, Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung: An Old Javanese poem,  its Indian source and Balinese illustrations. The Hague: Martinus  Nijhoff. WORSLEY,  P.J., 1991, “Mpu Tantular’s kakawin Arjunawijaya and conceptions of  kingship in fourteenth century Java”, dalam J.J.Ras & S.O.Robson  (Penyunting), Variation, Transformation and Meaning: Studies on  Indonesian Literatures in Honour of A.Teeuw . Leiden: KITLV Press, Hlm.  163—190. ZOETMULDER,  P.J., 1996, Kamus Jawa Kuna – Indonesia 1&2. Bekerja sama dengan  S.O.Robson, penerjemah Darusuprapto, Sumarti Suprayitna. Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama. | 
Jumat, 25 November 2011
Peran Penting Data dalam Karya Sastra Jawa Kuna dalam Kajian Arkeologi Hindu-Buddha : Candi Pendharmaan (abad ke-13--15M)
Pengertian Bahasa, Fungsi Bahasa, Serta Ragam Bahasa.
Pengertian  Bahasa, Ragam Bahasa, Fungsi Bahasa adalah pemahaman dasar dalam  memahami bahasa. Dalam memahami Bahasa Indonesia, kita juga perlu  memahami hal-hal tersebut, sehingga pemahaman kita dalam memahami bahasa  Indonesia, bisa lebih mendalam dan dapat mengaplikasikan dengan baik.
Definisi  Bahasa; Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbiter ( tidak  ada hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya ) yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi, kerja sama, dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder.
Fungsi bahasa dalam masyarakat:
   1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
   2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
   3. Alat mengidentifikasi diri.
Macam dan jenis ragam bahasa:
   1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, jurnalistik, dsb.
   2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden soeharto, gaya bahasa binyamin s, dsb.
   3. Ragam bahasa pada sekelompok anggota masyarakay suatu wilayah seperti dialeg bahasa madura, medan, sunda, dll.
   4. Ragam bahasa pada masyarakat suatu golongan seperti ragam bahasa orang akademisi berbeda dengan ragam bahasaorang jalanan.
   5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
   6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal dan informal.
Bahasa lisan lebih ekspresif dimana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan.  Lidah setajam pisau atau silet oleh karena itu sebaiknya dalam  berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta  menghormati lawan bicara atau target komunikasi.
Bahsa isyarat atau gestur atau bahasa tubuh adalah salah satu cara berkomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat digunakan permanen oleh penyandang cacat karena mereka mempunyai bahasa sendiri.
Bahasa bisa punah karena kebanyakan bahasa didunia  ini tidak statis. Bahasa-bahasa itu berubah seiring waktu, mendapat  kata tambahan, dan mencuri kata-kata dari bahasa lain. Bahasa hidup dan  berkembang ketika masyarakat menuturkannya sebagai alat komunikasi  utama. Ketika tidak ada lagi masyarakat penutur asli suatu bahasa disebut bahasa mati atau punah, meskipun masih ada sedikit penutur asli yang menggunakan tetapi generasi muda tidak lagi menjadi penutur bahasa tersebut.
Banyak situasi yang menyebabkan bahasa punah. Sebuah bahasa punah ketika bahasa itu berubah bentuk menjadi famili bahasa-bahasa lain.Orang indonesia kini boleh jadi tidak mengerti bahasa melayu yang digunakan di  indonesia awal abad ke-20. Karena bahasa indonesia saat ini berasal dari  bahasa melayu yang telah mengalami infusi kata-kata bahasa asing. Bisa dikatakan  bahasa melayu bermetamorfosis dalam bahasa indonesia. Kelak kalau  bahasa indonesia makin berkembang dan demikian pula bahasa melayu  malaysia kemungkinan bahasa melayu akan punah.
Karena pengaruh globali sasi dan IPTEK menyebabkan masyarakat indonesia menganggap bahasa indonesia itu :
    * Tidak gaul.
    * Terlalu formal.
Rapuhnya bahasa indonesia disebabkan :
    * Tergerus arus globalisasi.
    * Kemungkinan banyak oran yang tidak menyukai peraturan bahasa indonesia.
    * Tidak adanya relasi masyarakat dengan pemerintah tentang pembudidayaan.
Selain bahasa asing, bahasa daerah juga memberi pengaruh pada perkembangan bahasa indonesia. Karena bahasa indonesia mungkin dianggap terlalu formal untuk dipakai  sehair-hari. Tidak apa-apa sebenarnya bahasa asing menyerap kedalam  bahasa indonesia. Sebagai bahasa yang terbuka, bahasa indonesia harus  luwes menerima unsur bahasa lain. Bahasa indonesia mengenal dua macam  serapan yakni :
    * Unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa indonesia.
    * Unsur asing yang pengucapan dan penulisannya telah disesuaikan dengan kaidah bahasa indonesia.
Ragam dari segi sudut pandangan bidang atau pokok persoalan :
Ragam Bahasa Bisnis
Ragam bahas bisnis adalah ragam bahasa yang digunakan dalam berbisnis, yang biasa digunakan  oleh para pebisnis dalam menjalankan bisnisnya.
Ciri-ciri ragam bahasa bisnis :
a.    Menggunakan bahasa yang komunikatif.
b.    Bahasanya cenderung resmi.
c.    Terikat ruang dan waktu.
d.    Membutuhkan adanya orang lain.
Ragam Bahasa Hukum
Ragam  bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya  khas dalam dunia hukum, mengingat fungsinya mempunyai karakteristik  tersendiri, oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
Ciri-ciri ragam bahasa hukum :
a.    Mempunyai gaya bahasa yang khusus.
b.    Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan.
c.    Objektif dan menekan prasangka pribadi.
d.    Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat dan kategori yang diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran.
e.    Tidak beremosi dan menjauhi tafsiran bersensasi.
Ragam Bahasa Fungsional
Ragam bahasa fungsional adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya.
Ragam Bahasa Sastra
Ragam  bahasa sastra adalah ragam bahasa yang banyak menggunakan kalimat tidak  efektif. Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata  bermakna konotasi sering dipakai dalam ragam bahasa sastra.
Ciri-ciri ragam bahasa sastra :
a.    Menggunakan kalimat yang tidak efektif
b.    Menggunakan kata-kata yang tidak baku
c.    Adanya rangkaian kata yang bermakna konotasi
Ragam Menurut Sarananya :
Ragam Bahasa Lisan
Adalah ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman.
Ragam lisan yang antara lain meliputi:
Ragam bahasa cakapan adalah ragam bahasa yang dipakai  apabila pembicara menganggap kawan bicara sebagai sesama, lebih muda,  lebih rendah statusnya atau apabila topik pembicara bersifat tidak  resmi.
Ragam bahasa pidato adalah ragam bahasa yang digunakan saat membacakan pidato dimuka umum.Biasanya pidato berisi penegasan kalimat untuk bias diterima si pendengar.
Ragam bahasa kuliah adalah ragam bahasa yang digunakan pada saat kuliah yaitu pada saat pembelajaran antar mahasiswa dan dosennya.
Ragam bahasa panggung adalah ragam bahasa yang digunakan seseorang saat dpanggung ketika mengsi acara hiburan lain agar bias diterima penonton.
Ciri-ciri ragam bahasa lisan :
a.    Memerlukan kehadiran orang lain
b.    Unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap
c.    Terikat ruang dan waktu
d.    Dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara
Kelebihan ragam bahasa lisan :
a.    Dapat disesuaikan dengan situasi.
b.    Faktor efisiensi.
c.     Faktor kejelasan karena pembicara menambahkan unsure lain berupa tekan  dan gerak anggota badan agah pendengar mengerti apa yang dikatakan seperti situasi, mimik dan gerak-gerak pembicara.
d.    Faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakannya.
e.    Lebih bebas bentuknya karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur.
f.     Penggunaan bahasa lisan bisa berdasarkan pengetahuan dan penafsiran dari informasi audit, visual dan kognitif.
Kelemahan ragam bahasa lisan :
a.    Bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan terdapat frase-frase sederhana.
b.    Penutur sering mengulangi beberapa kalimat.
c.    Tidak semua orang bisa melakukan bahasa lisan.
d.    Aturan-aturan bahasa yang dilakukan tidak formal.
Ragam Bahasa Tulis
Adalah ragam bahasa yang digunakan melalui media tulis, tidak terkait ruang dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan struktur sampai pada sasaran secara visual atau bahasa yang dihasilkan  dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam  ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan dan kosakata.
Ragam tulis yang antara lain meliputi:
Ragam bahasa teknis adalah ragam bahasa yang dilakukan mengenai teknis atau cara penulisan yang dicontohkan misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.
Ragam bahasa undang-undang adalah ragam bahasa yang mnggunakan komunikasi yang resmi.
Ragam bahasa catatan adalah ragam bahasa yang singkat yang diperuntukkan untuk pengingat sesuatu.
Ragam bahasa surat adalah ragam bahsa yang dituliskan pada sehelai kertas yang biasanya diberitahukan mengenai kabar atau sejenisnya yang berfungsi untuk memberikan informasi.
Ciri-ciri ragam bahasa tulis :
a.    Tidak memerlukan kehaduran orang lain.
b.    Unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap.
c.    Tidak terikat ruang dan waktu
d.    Dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
Kelebihan ragam bahasa tulis :
a.    Informasi yang disajikan bisa dipilih untuk dikemas sebagai media atau materi yang menarik dan menyenangkan.
b.    Umumnya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan masyarakat.
c.    Sebagai sarana memperkaya kosakata.
d.    Dapat digunakan  untuk menyampaikan maksud, membeberkan informasi atau mengungkap  unsur-unsur emosi sehingga mampu mencanggihkan wawasan pembaca.
Kelemahan ragam bahasa tulis :
a.    Alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada akibatnya bahasa tulisan harus disusun lebih sempurna.
b.    Tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih dan jujur, jika harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.
c.    Yang tidak ada dalam bahasa tulisan tidak dapat diperjelas/ditolong, oleh karena itu dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar.
Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
1.    Ragam daerah disebut (logat/dialek). Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di  Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memilikiciri  khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa  Tengah tampak padapelafalan/b/pada posisiawal saat melafalkan nama-nama  kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia  orang Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha,  canthik, dll.
2.    Ragam pendidikan adalah Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan,  terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya  fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak  berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi  dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari  seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering  menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
Contoh:
1.    Isma mau nulis surat cinta - Isma mau menulis surat cinta
2.    Saya akan ceritakan tentang Kancil - Saya akan menceritakan tentang Kancil.
Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan)  sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara  atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap  tersebut.
Misalnya,  kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor  kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara  atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa  baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan  makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Menurut Ciri Situasi Keidiologisan :
Ragam Tinggi (Bahasa Indonesia yang baku/ragam ilmiah)
Dalam kehidupan sosial dan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan, digunakan berbagai bahasa daerah termasuk dialeknya, bahasa Indonesia, dan/atau bahasa asing. Bahkan, dalam situasi tertentu, seperti dalam keluarga perkawinan campuran digunakan  pula bahasa yang bersifat campuran, yaitu campuran antara bahasa  Indonesia dan salah satu atau kedua bahasa ibu pasangan perkawinan  campuran itu. Dalam situasi kebahasaan seperti itu, timbul berbagai  ragam atau variasi bahasa sesuai dengan keperluannya, baik secara lisan  maupun tulisan. Timbulnya ragam bahasa tersebut disebabkan oleh latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan bahasa para pemakainya itu.
Yang dimaksud dengan ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-ciri linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh cirri-ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa juga ditandai  oleh cirri-ciri nonlinguistic, misalnya, lokasi atau tempat  penggunaannya, lingkungan sosial pemakaiannya, dan lingkungan  keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan.
sumber : http://faceilmu.com
Langganan:
Komentar (Atom)
